MASALAH AGRARIAN DI INDONESIA
Masalah Agraria di berbagai negara pada belahan Dunia secara
umum dan di Indonesia secara khusus adalah masalah masalah yang cukup komplit
dan telah memakan waktu berabad-abad lamanya.
TESA
Konsepsi dari setiap kebijakan atau sebagai tesa dalam
Agrarian Reform baik di berbagai Negara maupun di Indonesia sendiri secara
khusus dapat di jelaskan bahwa Secara Historys Reforma Agraria Sudah pernah
diterapkan di Yunani kuno pada masa pemerintahan Solon yang berusaha melakukan
reformasi konstitusi yang kemudian berhasil melahirkan UU Agraria
(Seisachtheia) tujuannya untuk membebaskan para Hektemor dari hutang dan
membebaskan status sebagai budak di bidang pertanian. Selain di Yunani juga
pernah diterapkan di Romawi kuno lewat Tiberius Gracchus yang berhasil
menggolkan UU-Agraria (lex agraria) yang intinya berupa batas maximum
penguasaan tanah[1], kemuadia berlanjut pada “Enclosure
movement” di Inggris yang merupakan suatu proses pengkaplingan tanah-tanah
pertanian dan padang pengembalaan yang semula merupakan tanah yang dapat
disewakan untuk umum. Kemudian munculnya reforma agraria secara besar-besaran
terjadi di Prancis bersamaan dengan Revolusi tahun 1978, dimana tanah dibagikan
kepada petani dan budak dibebaskan setelah hancurnya system penguasaan tanah
feudal. Tetapi di Rusia melahirkan Pembaruan gaya baru (Stolypin Reforms) yang
membebaskan petani dari komune-komune dan menjadi pemilik tanah secara bebas
sehingga terjadilah kemudian suatu kesenjagan yang tajam antara petani kaya
dengan petani miskin.
Perjalanan Sejarah kebijakan Agraria di Indonesia mulai dari
masa kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa Belanda dan Inggris di mulai pada
tahun 1811 oleh Raffles dan tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch
lewat cultuurstelsel atau tanam paksanya dimana tanah menjadi milik pemerintah
dan para kepala desa menyadi penyewa kepada pemerintah untuk di pinjamkan oleh
petani dan pada tahun 1848 dimana tanah tersebut diserahkan kepada pribumi
sebagai hak milik mutlak dengan keluarnya Regerings Regelment 1854 tetapi
mengalami perubahan sampai dikeluarkannya Argrarisch Besluit yang kemudian
mengeluarkan pernyataan penting yang dikenal denga Domein Verklaring yang
isinnya “semua tanah yang tidak terbukti sebagai hak milik mutlak maka menjadi
milik negara”. Kebijakan Agraia pada masa kolonial Belanda dan Inggris
berlanjut pada masa pendudukan Jepang, Masa Orde Lama dan Masa Orde Baru. Pada
masa pendudukan jepang belum terlalu berat masalah agraria karena kepada
perbaikan struktur, kerja rodi dan pengandaian suplai pangan khususnya beras.
Sementara pada masa Orde lama beberapa kebijakan terhadap masalah agraria
dilatar belakangi oleh “…..,, Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta
(1951), Panitia Soewahjo (1956). Panitia Soenario (1958), panitia Sadjarwo
(1960), dan terakhir melalui agrarische Wet 1870 yang di gantikan oleh UUPA
1960”.
Penerapan Reforma Agraria ini di masa Soekarno dinilai belum
berhasil dan malah kemudian menjadi salah satu penyulut tragedi politik pada
1965-1966 karena dalam implementasinya menjadi pertikaian elit politik. Isu
reforma agraria ini menjadi isu populis yang bisa memobilisasi kekuatan rakyat
yang masih terjerat kemiskinan pada saat itu. Namun kemudian tragedi 1965
kemudian memaksa Soekarno meletakkan jabatannya. Di masa Soekarno ini belum
terjadi hal yang signifikan pada penerapan reforma agraria karena situasi
politik pada saat itu. Kekuasaan Soekarno kemudian beralih ke tangan rezim orde
baru di bawah Soeharto. Peralihan kekuasaan tersebut menyebabkan berubahnya
struktur sosial dan politik nasional. Orde baru ternyata semakin memudarkan
semangat reforma agraria. Gerakan tani yang menjadi pilar dari perjuangkan
reforma agraria kemudian seringkali diasosiasikan kepada gerakan politik yang
diharamkan dan dianggap subversif.
Perjuangan petani yang memeperjuangkan haknya akan
sangat gampang dituding sebagai musuh negara. Pada era ini aroma kapitalisme
lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal
agraria. Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya
alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian
dan sektoral sepanjang 32 tahun. Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa
bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi
kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga
memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.
Pengalaman teman-teman aktivis dalam mendukung perjuangan
agraria rakyat menunjukkan bahwa penyerobotan tanah-tanah rakyat tersebut
banyak terjadi pada masa orde baru. Ketika rakyat melawan maka mereka akan
dituduh komunis, subversif dan musuh negara. Bukan hanya perusahaan perkebunan
negara yang melakukan penyerobotan tersebut dalam beberapa kasus juga banyak
melibatkan perkebunan swasta. Geliat perjuangan reforma agraria kemudian
mengalami kebangkitan di akhir-akhir masa orde baru. Hal tersebut ditandai
dengan berkembangnya organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya.
Organisasi perjuangan tersebut menjadi kekuatan yang sangat mendukung
bangkitnya kesadaran massa rakyat. Kegigihan rakyat dalam memperjuangkan haknya
menjadi inspirasi gerakan agraria. Momentum reformasi membuka peluang yang
lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan hak-haknya. Angin segar demokrasi ini
membangkitkan motivasi untuk merebut kembali hak mereka atas lahan.
Kemenangan-kemenangan kecil rakyat kemudian semakin memotivasi mereka untuk
merebut kembali haknya yang dirampas.
ANTITESA
Sebagai contoh kasus-kasus yang terjadi diberbagai negara
dan di Indonesia dapat kita katakan sebagai antitesa dari setiap
kebijakan-kebijakan tadi Misalnya: Seisachtheia pada masa Yunani yang
menimbulkan kekecewaan karena telah merugikan kedua belah pihak[2], sehingga terjadilah pemberotakan walaupun dapat
dihindarkan tetapi stabilitas politik terganggu yang berujung pada jatuhnya
Solon. Sementara kasus di Romawi Kuno mendapat tantangan dari tuan tanah dan
senator roma akhirnya tibriuspun terbunuh. Di Inggris misalnya dengan keluarnya
kebijakan tersebut (Enclosure movement) melahirkan pro-kontra bagi
masyarakatnya yang berujung pada keluarnya UU anti Enclosure untuk
menyelamatkan sisa-sisa tanah dari kepentingan umum. Reforma agraria di
prancis memang berhasil kalau dilihat pada konteks sosial pada saat tatpi
secara holistic keberhasilannyapun karena adanya Revolusi secara besar-besaran
di Prancis yang kemudian merubah keadaan agrarian dari satu sisi juuga.
Sementara di Rusia Pembaruan gaya baru 1917 telah merubah bentuknya pada tahun
1920 yang lebih mengedepankan gerakan kolektivasi yang radikal.
Mengenai masalah Agraria di Indonesiapun mengalami
pergolakan yang terjadi pada masyarakat misalnya pada tahun 1811 merupakan langkah
politiknya untuk pembenaran baik secara hukum maupun secara ilmiah dengan
dibentuknya komisi Mackensie untuk melakuka penyelidikan statistik terkait
agraria di Indonesia dan dari hasil penyelidikan tersebut Raffles menyimpulkan
bahwa tanah milik Raja atau pemerintahdalam teori Domeinnya untuk membuat
sistem penarikan pajak bumi (landrete=Belanda) bahwa setiap petani diwajibkan
membayar pajak 2/5 setiap hasil grapanny, sistem ini kemudian dilanjutkan oleh
V.D.Boosch. Kalau kita melihat kebijakan pada tahun 1870 Agrarisch Besluit yang
mengeluarkan pernyataan Domein Verlklaring bahwa tanah kosong yag tidak
mempunyai bukti kemudian menjadi milik negara menjadikan modal swasta dari
Eropa mencengram Indonesia, tujuan dari UU 1870 sudah semakin jauh dari harapan
sebab UU tersebut telah memberikan kesempatan kepada modal asing diatambah
dengan sikap raja yang tergiur dengan kepada para penguasa swasta asing.
Tampaknya respon yang diberikan petani terhadap tekanan
pemerintah melalui mekanisme agraria berbeda-beda. Respon petani pada masa
feodal terhadap posisinya yang hanya sebagai petani penggarap adalah
“berproduksi secukupnya” Politik sentralisasi penguasaan tanah dengan kewajiban
menyerahkan surplus produksi kepada raja telah berdampak negatif terhadap
kegairahan untuk meningkatkan produksi pertanian. Sikap petani yang menghindari
produksi berlebih tersebut, dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perlawanan
politik yang “tidak terang-terangan”. Dengan kondisi represif saat itu ia hanya
dapat melakukan perlawanan dengan cara tersebut dan sulit melakukan perlawanan
secara frontal dan terbuka. Artinya, perlawanan pada masa ini lebih bersifat
individual dan tidak terorganisir.
Selanjutnya menghadapi tekanan
pemaksaan penanaman sebagian tanah dalam desa dengan komoditas ekspor kolonial,
sementara jumlah penduduk terus meningkat, respon yang umum di Jawa menurut
Clifford Geertz adalah apa yang disebutnya dengan fenomena “involusi
pertanian”. Masyarakat dalam satu desa yang berbentuk komunal melakukan
adaptasi organisasi produksi sedemikian rupa, dimana dengan tanah yang tersisa,
lembaga desa menjamin seluruh orang yang menginginkan pekerjaan memperoleh
pekerjaan. Dengan cara itu setiap warga terjamin kebutuhan subsistensinya.
Akibatnya, meskipun produksi per luasan tanah ada meningkat, namun produksi per
satuan tenaga kerja menurun.
Pada masa Orde Baru, konflik kembali
bersifat struktural-vertikal yang bercirikan konflik-konflik lokal dan
sporadis. Pada masa ini, respon petani tidak lagi perlawanan diam-diam, namun
sudah berubah menjadi perlawanan fisik, walaupun kuatnya represif birokrasi
dengan dukungan militer membuat petani tak berkutik. Sementara pada waktu yang
bersamaan, kelompok buruh tani dan petani bertanah sempit yang tidak mencapai
skala ekonomi secara pasti “terusir” dari desanya sendiri. Mereka terpaksa
migrasi ke kota-kota terdekat untuk berburu pekerjaan-pekerjaan di sektor
informal, baik sebagai migran musiman maupun migran permanen.
Konflik Agraria pada masa Orde Baru
akibat timbulnya Kapitalisme Agraria. Dua hal pokok mengenai petani dan konflik
agraria di Indonesia pada masa Orde Baru, yaitu :
- a.Kebijakan agraria lebih menekankan pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dari yang timpang menjadi lebih adil
- b.Penekanan stabilitas politik dalam mencapai tujuan pembangunan ekonmi
Karena orientasi pembangunannya
lebih menekankan pada pertumbuhan secara cepat, pada saat bersamaan upaya
menciptakan struktur agraria yang egaliter menjadi terabaikan. Orientasi
kebijakan agraria diarahkan untuk mendukung kebijakan pembangunan ekonomi. Pada
tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (UU-PMA) dan
diikuti dengan UU Penanaman Modal Dalam Negri (UU-PMDN) tahun 1968. Tujuannya
adalah untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam upaya mengurangi jumlah
penduduk miskin tak bertanah di Jawa, pemerintah mengganti land reform
dengan transmigrasi ke luar Pulau Jawa. Hal ini terealisasikan pada tahun1972
dengan dikeluarkannya UU No. 2/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dalam
upaya menjaga stabiitas politik yang berkaitan dengan penyediaan pangan, pada
waktu yang hampir bersamaan, pemerintah mencanangkan program revolusi hijau.
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produksi pangan melalui diintroduksikannya
varientas padi unggul dan teknologi pertanian modern. Dampak negatif dari
revolusi hijau bagi para petani, antara lain : a). Karena kebijakan agraria
lebih berorientasi kepada produksi, akses petani kecil dan tunakisma tanah
obyek land reform menjadi sangat terbatas. b). Adanya kebijakan revolusi
hijau sangat membatasi kebebasan petani untuk menentukan komoditas pertanian
yang sesuai dengan keinginannya. c). Petani menjadi tergantung terhadap sarana
produksi pertanian, karena semua jenis sarana tersebut ditentukan oleh
pemerintah
SINTESA
Masalah pertanahan adalah elan vital bagi masyarakat agraris
untuk aktifitas perekonomiannya mulai dari masa yunani sampai masuknya
kolonialisme di Indonesia masalah agraria menjadi bagian tersendiri terhadap
munculnya reaksi dari masyarakat desa di Idonesia sejak Cultuurstelsel dan
belum pernah berakhir sampai saat-saat ini. Dalam menjelaskan langkah
alternatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang kemudian tidak saling
menguntungkan dan bahkan mendiskreditkan rakyat secara umum dari setiap
kebijakan tersebut. Dalam hal ini penulis memebrikan sentesa sebagai langkah
alternatif untuk meminimalisir konflik khususnya yang berkaitan dengan masalah
Agraria di Indonesia.
Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok
Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini terlihat
bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan
agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun sebagai
aturan pokok, secara yuridis peraturan ini masih lemah secara hukum. Meskipun
di dalamnya sudah terjadi proses pemodernan, dengan menggabungkan dualisme
hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan hukum adat, namun masih banyak
ketentuan-ketentuannya yang belum aplikatif. Meskipun demikian, kegiatan
landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun
kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai partai yang menggunakan politik populis telah berhasil mendapat
sambutan yang tinggi dari masyarakat pedesaan. Tanah telah dijadikan alat
politik sehingga dukungan kepada partai ini menjadi besar.
Menurut Fauzi, kebijakan hukum dalam UUPA ini sesungguhnya
menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan penghisapan
manusia atas manusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga menentang
sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah. Politik
agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui
hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki “fungsi sosial”. Melalui
prinsip Hak Menguasai dari negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah dapat
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub
dalam pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga
dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Kegiatan
landreform selalu diberi cap negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. Hal
ini karena memang PKI dulu menjadikan program landreform sebagai alat
perjuangannya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI dilarang, maka usaha
perbaikan hak penguasaan tanah pun (program landreform) menjadi negatif di mata
pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap
diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun
kurang memuaskan. Pemerintah Orde Baru yang sangat terinpirasi dengan kemajuan
ekonomi, menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis, sehingga
menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, karena
pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama
sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program
pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas,
namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah
dan sangat membutuhkannya.
Pembangunan pertanian dengan mengintroduksikan tekonologi
maju dan efisien tanpa sadar telah meminggirkan petani. Program revolusi hijau
dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya
penegasan stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan.
Revolusi hijau ternyata bersifat mempolarisasikan masyarakat desa, karena hanya
petani berlahan luas yang lebih mampu menarik manfaatnya. Meskipun teknologi
yang diintroduksikan bersifat bebas skala, namun para petani yang berlahan luas
berproduksi lebih banyak. Produksi yang lebih tinggi menyebabkan
terakumulasinya keuntungan, yang pada gilirannya menyebabkan mereka lebih mampu
mengembangkan usaha non pertanian, menyekolahkan anak lebih tinggi, serta
membuka akses politiknya. Dengan demikian, faktor kepemilikan tanah berperan
terhadap mobilitas sosial.
Dari uraian historis di atas terlihat bahwa penyebab
perubahan ditekankan kepada aspek-aspek materialistik, yaitu aspek sumberdaya
tanah. Dengan persepktif meterialistik ini, maka akibatnya konflik-konflik yang
terjadi juga lebih bersifat materialistis ketimbang idealis. Dalam sistem
sosial agraria, maka tanahlah yang menjadi sumber konflik dari satu era ke era
lainnya, bukan konflik ideologi. Meskipun misalnya pemberontakan petani dalam
PKI dibungkus dengan ideologi komunis, namun janji untuk memperoleh tanahlah
yang menjadi dasar perjuangannya. Mereka lebih memperjuangkan hak atas tanah
dibandingkan memperjuangkan ideologi komunisnya.
Meskipun perubahan sosial adalah suatu keniscayaan
yang tak dapat dihindari oleh bangsa manapun, namun perubahan sosial tidak
terjadi begitu saja. Dari uraian di atas terlihat bagaimana di setiap zaman
selalu saja ada pihak yang berkepentingan dengan perubahan sosial; yaitu para
penguasa. Upaya penguasa untuk mengendalikan perubahan melalui persoalan
agraria adalah cara yang efektif, karena memang tanah adalah sumber daya utama
bagi masyarakat pedesaan. Penerapan reforma agraria ini di masa Soekarno
dinilai belum berhasil dan malah kemudian menjadi salah satu penyulut tragedi
politik pada 1965-1966 karena dalam implementasinya menjadi pertikaian elit politik.
Isu reforma agraria ini menjadi isu populis yang bisa memobilisasi kekuatan
rakyat yang masih terjerat kemiskinan pada saat itu. Namun kemudian tragedi
1965 kemudian memaksa Soekarno meletakkan jabatannya. Di masa Soekarno ini
belum terjadi hal yang signifikan pada penerapan Reforma Agraria karena situasi
politik pada saat itu.
Kekuasaan Soekarno kemudian beralih ke tangan rezim orde
baru di bawah Soeharto. Peralihan kekuasaan tersebut menyebabkan berubahnya
struktur sosial dan politik nasional. Orde baru ternyata semakin memudarkan
semangat reforma agraria. Gerakan tani yang menjadi pilar dari perjuangkan
reforma agraria kemudian seringkali diasosiasikan kepada gerakan politik yang
diharamkan dan dianggap subversif. Perjuangan petani yang memeperjuangkan
haknya akan sangat gampang dituding sebagai musuh negara.
Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat mencengkeram
sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam pandangan Noer
Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik
dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32
tahun. Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang
berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin
kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu maraknya konflik
agraria dibelakang hari. Pengalaman teman-teman aktivis dalam mendukung
perjuangan agraria rakyat menunjukkan bahwa penyerobotan tanah-tanah rakyat
tersebut banyak terjadi pada masa orde baru. Ketika rakyat melawan maka mereka
akan dituduh komunis, subversif dan musuh negara. Bukan hanya perusahaan
perkebunan negara yang melakukan penyerobotan tersebut dalam beberapa kasus
juga banyak melibatkan perkebunan swasta.
Geliat perjuangan reforma agraria kemudian mengalami
kebangkitan di akhir-akhir masa orde baru. Hal tersebut ditandai dengan
berkembangnya organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Organisasi
perjuangan tersebut menjadi kekuatan yang sangat mendukung bangkitnya kesadaran
massa rakyat. Kegigihan rakyat dalam memperjuangkan haknya menjadi inspirasi
gerakan agraria. Momentum reformasi membuka peluang yang lebih besar bagi
rakyat dalam menyuarakan hak-haknya. Angin segar demokrasi ini membangkitkan
motivasi untuk merebut kembali hak mereka atas lahan. Kemenangan-kemenangan
kecil rakyat kemudian semakin memotivasi mereka untuk merebut kembali haknya
yang dirampas.
[1] Dalam lex agraria tanah yang berlebihan harus diserahkan
kepada Negara untuk dibagika kepada petani kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar