Kamis, 11 April 2013

MASALAH AGRARIAN DI INDONESIA




MASALAH AGRARIAN DI INDONESIA
Masalah Agraria di berbagai negara pada belahan Dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus adalah masalah masalah yang cukup komplit dan telah memakan waktu berabad-abad lamanya.
TESA
Konsepsi dari setiap kebijakan atau sebagai tesa dalam Agrarian Reform baik di berbagai Negara maupun di Indonesia sendiri secara khusus dapat di jelaskan bahwa Secara Historys Reforma Agraria Sudah pernah diterapkan di Yunani kuno pada masa pemerintahan Solon yang berusaha melakukan reformasi konstitusi yang kemudian berhasil melahirkan UU Agraria (Seisachtheia) tujuannya untuk membebaskan para Hektemor dari hutang dan membebaskan status sebagai budak di bidang pertanian. Selain di Yunani juga pernah diterapkan di Romawi kuno lewat Tiberius Gracchus yang berhasil menggolkan UU-Agraria (lex agraria) yang intinya berupa batas maximum penguasaan tanah[1], kemuadia berlanjut pada “Enclosure movement” di Inggris yang merupakan suatu proses pengkaplingan tanah-tanah pertanian dan padang pengembalaan yang semula merupakan tanah yang dapat disewakan untuk umum. Kemudian munculnya reforma agraria secara besar-besaran terjadi di Prancis bersamaan dengan Revolusi tahun 1978, dimana tanah dibagikan kepada petani dan budak dibebaskan setelah hancurnya system penguasaan tanah feudal. Tetapi di Rusia melahirkan Pembaruan gaya baru (Stolypin Reforms) yang membebaskan petani dari komune-komune dan menjadi pemilik tanah secara bebas sehingga terjadilah kemudian suatu kesenjagan yang tajam antara petani kaya dengan petani miskin.
Perjalanan Sejarah kebijakan Agraria di Indonesia mulai dari masa kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa Belanda dan Inggris di mulai pada tahun 1811 oleh Raffles dan tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch lewat cultuurstelsel atau tanam paksanya dimana tanah menjadi milik pemerintah dan para kepala desa menyadi penyewa kepada pemerintah untuk di pinjamkan oleh petani dan pada tahun 1848 dimana tanah tersebut diserahkan kepada pribumi sebagai hak milik mutlak dengan keluarnya Regerings Regelment 1854 tetapi mengalami perubahan sampai dikeluarkannya Argrarisch Besluit yang kemudian mengeluarkan pernyataan penting yang dikenal denga Domein Verklaring yang isinnya “semua tanah yang tidak terbukti sebagai hak milik mutlak maka menjadi milik negara”. Kebijakan Agraia pada masa kolonial Belanda dan Inggris berlanjut pada masa pendudukan Jepang, Masa Orde Lama dan Masa Orde Baru. Pada masa pendudukan jepang belum terlalu berat masalah agraria karena kepada perbaikan struktur, kerja rodi dan pengandaian suplai pangan khususnya beras. Sementara pada masa Orde lama beberapa kebijakan terhadap masalah agraria dilatar belakangi oleh “…..,, Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956). Panitia Soenario (1958), panitia Sadjarwo (1960), dan terakhir melalui agrarische Wet 1870 yang di gantikan oleh UUPA 1960”.
Penerapan Reforma Agraria ini di masa Soekarno dinilai belum berhasil dan malah kemudian menjadi salah satu penyulut tragedi politik pada 1965-1966 karena dalam implementasinya menjadi pertikaian elit politik. Isu reforma agraria ini menjadi isu populis yang bisa memobilisasi kekuatan rakyat yang masih terjerat kemiskinan pada saat itu. Namun kemudian tragedi 1965 kemudian memaksa Soekarno meletakkan jabatannya. Di masa Soekarno ini belum terjadi hal yang signifikan pada penerapan reforma agraria karena situasi politik pada saat itu. Kekuasaan Soekarno kemudian beralih ke tangan rezim orde baru di bawah Soeharto. Peralihan kekuasaan tersebut menyebabkan berubahnya struktur sosial dan politik nasional. Orde baru ternyata semakin memudarkan semangat reforma agraria. Gerakan tani yang menjadi pilar dari perjuangkan reforma agraria kemudian seringkali diasosiasikan kepada gerakan politik yang diharamkan dan dianggap subversif.
 Perjuangan petani yang memeperjuangkan haknya akan sangat gampang dituding sebagai musuh negara. Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun. Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.
Pengalaman teman-teman aktivis dalam mendukung perjuangan agraria rakyat menunjukkan bahwa penyerobotan tanah-tanah rakyat tersebut banyak terjadi pada masa orde baru. Ketika rakyat melawan maka mereka akan dituduh komunis, subversif dan musuh negara. Bukan hanya perusahaan perkebunan negara yang melakukan penyerobotan tersebut dalam beberapa kasus juga banyak melibatkan perkebunan swasta. Geliat perjuangan reforma agraria kemudian mengalami kebangkitan di akhir-akhir masa orde baru. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Organisasi perjuangan tersebut menjadi kekuatan yang sangat mendukung bangkitnya kesadaran massa rakyat. Kegigihan rakyat dalam memperjuangkan haknya menjadi inspirasi gerakan agraria. Momentum reformasi membuka peluang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan hak-haknya. Angin segar demokrasi ini membangkitkan motivasi untuk merebut kembali hak mereka atas lahan. Kemenangan-kemenangan kecil rakyat kemudian semakin memotivasi mereka untuk merebut kembali haknya yang dirampas.
ANTITESA
Sebagai contoh kasus-kasus yang terjadi diberbagai negara dan di Indonesia dapat kita katakan sebagai antitesa dari setiap kebijakan-kebijakan tadi Misalnya: Seisachtheia pada masa Yunani yang menimbulkan kekecewaan karena telah merugikan kedua belah pihak[2], sehingga terjadilah pemberotakan walaupun dapat dihindarkan tetapi stabilitas politik terganggu yang berujung pada jatuhnya Solon. Sementara kasus di Romawi Kuno mendapat tantangan dari tuan tanah dan senator roma akhirnya tibriuspun terbunuh. Di Inggris misalnya dengan keluarnya kebijakan tersebut (Enclosure movement) melahirkan pro-kontra bagi masyarakatnya yang berujung pada keluarnya UU anti Enclosure untuk menyelamatkan sisa-sisa tanah dari kepentingan umum. Reforma agraria di prancis  memang berhasil kalau dilihat pada konteks sosial pada saat tatpi secara holistic keberhasilannyapun karena adanya Revolusi secara besar-besaran di Prancis yang kemudian merubah keadaan agrarian dari satu sisi juuga. Sementara di Rusia Pembaruan gaya baru 1917 telah merubah bentuknya pada tahun 1920 yang lebih mengedepankan gerakan kolektivasi yang radikal.

Mengenai masalah Agraria di Indonesiapun mengalami pergolakan yang terjadi pada masyarakat misalnya pada tahun 1811 merupakan langkah politiknya untuk pembenaran baik secara hukum maupun secara ilmiah dengan dibentuknya komisi Mackensie untuk melakuka penyelidikan statistik terkait agraria di Indonesia dan dari hasil penyelidikan tersebut Raffles menyimpulkan bahwa tanah milik Raja atau pemerintahdalam teori Domeinnya untuk membuat sistem penarikan pajak bumi (landrete=Belanda) bahwa setiap petani diwajibkan membayar pajak 2/5 setiap hasil grapanny, sistem ini kemudian dilanjutkan oleh V.D.Boosch. Kalau kita melihat kebijakan pada tahun 1870 Agrarisch Besluit yang mengeluarkan pernyataan Domein Verlklaring bahwa tanah kosong yag tidak mempunyai bukti kemudian menjadi milik negara menjadikan modal swasta dari Eropa mencengram Indonesia, tujuan dari UU 1870 sudah semakin jauh dari harapan sebab UU tersebut telah memberikan kesempatan kepada modal asing diatambah dengan sikap raja yang tergiur dengan kepada para penguasa swasta asing.
Tampaknya respon yang diberikan petani terhadap tekanan pemerintah melalui mekanisme agraria berbeda-beda. Respon petani pada masa feodal terhadap posisinya yang hanya sebagai petani penggarap adalah “berproduksi secukupnya” Politik sentralisasi penguasaan tanah dengan kewajiban menyerahkan surplus produksi kepada raja telah berdampak negatif terhadap kegairahan untuk meningkatkan produksi pertanian. Sikap petani yang menghindari produksi berlebih tersebut, dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perlawanan politik yang “tidak terang-terangan”. Dengan kondisi represif saat itu ia hanya dapat melakukan perlawanan dengan cara tersebut dan sulit melakukan perlawanan secara frontal dan terbuka. Artinya, perlawanan pada masa ini lebih bersifat individual dan tidak terorganisir.
Selanjutnya menghadapi tekanan pemaksaan penanaman sebagian tanah dalam desa dengan komoditas ekspor kolonial, sementara jumlah penduduk terus meningkat, respon yang umum di Jawa menurut Clifford Geertz adalah apa yang disebutnya dengan fenomena “involusi pertanian”. Masyarakat dalam satu desa yang berbentuk komunal  melakukan adaptasi organisasi produksi sedemikian rupa, dimana dengan tanah yang tersisa, lembaga desa menjamin seluruh orang yang menginginkan pekerjaan memperoleh pekerjaan. Dengan cara itu setiap warga terjamin kebutuhan subsistensinya. Akibatnya, meskipun produksi per luasan tanah ada meningkat, namun produksi per satuan tenaga kerja menurun.

Pada masa Orde Baru, konflik kembali bersifat struktural-vertikal yang bercirikan konflik-konflik lokal dan sporadis. Pada masa ini, respon petani tidak lagi perlawanan diam-diam, namun sudah berubah menjadi perlawanan fisik, walaupun kuatnya represif birokrasi dengan dukungan militer membuat petani tak berkutik. Sementara pada waktu yang bersamaan, kelompok buruh tani dan petani bertanah sempit yang tidak mencapai skala ekonomi secara pasti “terusir” dari desanya sendiri. Mereka terpaksa migrasi ke kota-kota terdekat untuk berburu pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, baik sebagai migran musiman maupun migran permanen.
Konflik Agraria pada masa Orde Baru akibat timbulnya Kapitalisme Agraria. Dua hal pokok mengenai petani dan konflik agraria di Indonesia pada masa Orde Baru, yaitu :
  1. a.Kebijakan agraria lebih menekankan pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dari yang timpang menjadi lebih adil
  2. b.Penekanan stabilitas politik dalam mencapai tujuan pembangunan ekonmi
Karena orientasi pembangunannya lebih menekankan pada pertumbuhan secara cepat, pada saat bersamaan upaya menciptakan struktur agraria yang egaliter menjadi terabaikan. Orientasi kebijakan agraria diarahkan untuk mendukung kebijakan pembangunan ekonomi. Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (UU-PMA) dan diikuti dengan UU Penanaman Modal Dalam Negri (UU-PMDN) tahun 1968. Tujuannya adalah untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam upaya mengurangi jumlah penduduk miskin tak bertanah di Jawa, pemerintah mengganti land reform dengan transmigrasi ke luar Pulau Jawa. Hal ini terealisasikan pada tahun1972 dengan dikeluarkannya UU No. 2/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Dalam upaya menjaga stabiitas politik yang berkaitan dengan penyediaan pangan, pada waktu yang hampir bersamaan, pemerintah mencanangkan program revolusi hijau. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produksi pangan melalui diintroduksikannya varientas padi unggul dan teknologi pertanian modern. Dampak negatif dari revolusi hijau bagi para petani, antara lain : a). Karena kebijakan agraria lebih berorientasi kepada produksi, akses petani kecil dan tunakisma tanah obyek land reform menjadi sangat terbatas. b). Adanya kebijakan revolusi hijau sangat membatasi kebebasan petani untuk menentukan komoditas pertanian yang sesuai dengan keinginannya. c). Petani menjadi tergantung terhadap sarana produksi pertanian, karena semua jenis sarana tersebut ditentukan oleh pemerintah

SINTESA
Masalah pertanahan adalah elan vital bagi masyarakat agraris untuk  aktifitas perekonomiannya mulai dari masa yunani sampai masuknya kolonialisme di Indonesia masalah agraria menjadi bagian tersendiri terhadap munculnya reaksi dari masyarakat desa di Idonesia sejak Cultuurstelsel dan belum pernah berakhir sampai saat-saat ini. Dalam menjelaskan langkah alternatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang kemudian tidak saling menguntungkan dan bahkan mendiskreditkan rakyat secara umum dari setiap kebijakan tersebut. Dalam hal ini penulis memebrikan sentesa sebagai langkah alternatif untuk meminimalisir konflik khususnya yang berkaitan dengan masalah Agraria di Indonesia.
Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini terlihat bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun sebagai aturan pokok, secara yuridis peraturan ini masih lemah secara hukum. Meskipun di dalamnya sudah terjadi proses pemodernan, dengan menggabungkan dualisme hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan hukum adat, namun masih banyak ketentuan-ketentuannya yang belum aplikatif. Meskipun demikian, kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang menggunakan politik populis telah berhasil mendapat sambutan yang tinggi dari masyarakat pedesaan. Tanah telah dijadikan alat politik sehingga dukungan kepada partai ini menjadi besar.
Menurut Fauzi, kebijakan hukum dalam UUPA ini sesungguhnya menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan penghisapan manusia atas manusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga menentang sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah. Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki “fungsi sosial”. Melalui prinsip Hak Menguasai dari negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Kegiatan landreform selalu diberi cap negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. Hal ini karena memang PKI dulu menjadikan program landreform sebagai alat perjuangannya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI dilarang, maka usaha perbaikan hak penguasaan tanah pun (program landreform) menjadi negatif di mata pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan. Pemerintah Orde Baru yang sangat terinpirasi dengan kemajuan ekonomi, menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis, sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, karena pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat membutuhkannya.
Pembangunan pertanian dengan mengintroduksikan tekonologi maju dan efisien tanpa sadar telah meminggirkan petani. Program revolusi hijau dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan. Revolusi hijau ternyata bersifat mempolarisasikan masyarakat desa, karena hanya petani berlahan luas yang lebih mampu menarik manfaatnya. Meskipun teknologi yang diintroduksikan bersifat bebas skala, namun para petani yang berlahan luas berproduksi lebih banyak. Produksi yang lebih tinggi menyebabkan terakumulasinya keuntungan, yang pada gilirannya menyebabkan mereka lebih mampu mengembangkan usaha non pertanian, menyekolahkan anak lebih tinggi, serta membuka akses politiknya. Dengan demikian, faktor kepemilikan tanah berperan terhadap mobilitas sosial.
Dari uraian historis di atas terlihat bahwa penyebab perubahan ditekankan kepada aspek-aspek materialistik, yaitu aspek sumberdaya tanah. Dengan persepktif meterialistik ini, maka akibatnya konflik-konflik yang terjadi juga lebih bersifat materialistis ketimbang idealis. Dalam sistem sosial agraria, maka tanahlah yang menjadi sumber konflik dari satu era ke era lainnya, bukan konflik ideologi. Meskipun misalnya pemberontakan petani dalam PKI dibungkus dengan ideologi komunis, namun janji untuk memperoleh tanahlah yang menjadi dasar perjuangannya. Mereka lebih memperjuangkan hak atas tanah dibandingkan memperjuangkan ideologi komunisnya.
 Meskipun perubahan sosial adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari oleh bangsa manapun, namun perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Dari uraian di atas terlihat bagaimana di setiap zaman selalu saja ada pihak yang berkepentingan dengan perubahan sosial; yaitu para penguasa. Upaya penguasa untuk mengendalikan perubahan melalui persoalan agraria adalah cara yang efektif, karena memang tanah adalah sumber daya utama bagi masyarakat pedesaan. Penerapan reforma agraria ini di masa Soekarno dinilai belum berhasil dan malah kemudian menjadi salah satu penyulut tragedi politik pada 1965-1966 karena dalam implementasinya menjadi pertikaian elit politik. Isu reforma agraria ini menjadi isu populis yang bisa memobilisasi kekuatan rakyat yang masih terjerat kemiskinan pada saat itu. Namun kemudian tragedi 1965 kemudian memaksa Soekarno meletakkan jabatannya. Di masa Soekarno ini belum terjadi hal yang signifikan pada penerapan Reforma Agraria karena situasi politik pada saat itu.
Kekuasaan Soekarno kemudian beralih ke tangan rezim orde baru di bawah Soeharto. Peralihan kekuasaan tersebut menyebabkan berubahnya struktur sosial dan politik nasional. Orde baru ternyata semakin memudarkan semangat reforma agraria. Gerakan tani yang menjadi pilar dari perjuangkan reforma agraria kemudian seringkali diasosiasikan kepada gerakan politik yang diharamkan dan dianggap subversif. Perjuangan petani yang memeperjuangkan haknya akan sangat gampang dituding sebagai musuh negara.
Pada era ini aroma kapitalisme lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun. Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari. Pengalaman teman-teman aktivis dalam mendukung perjuangan agraria rakyat menunjukkan bahwa penyerobotan tanah-tanah rakyat tersebut banyak terjadi pada masa orde baru. Ketika rakyat melawan maka mereka akan dituduh komunis, subversif dan musuh negara. Bukan hanya perusahaan perkebunan negara yang melakukan penyerobotan tersebut dalam beberapa kasus juga banyak melibatkan perkebunan swasta.
Geliat perjuangan reforma agraria kemudian mengalami kebangkitan di akhir-akhir masa orde baru. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Organisasi perjuangan tersebut menjadi kekuatan yang sangat mendukung bangkitnya kesadaran massa rakyat. Kegigihan rakyat dalam memperjuangkan haknya menjadi inspirasi gerakan agraria. Momentum reformasi membuka peluang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan hak-haknya. Angin segar demokrasi ini membangkitkan motivasi untuk merebut kembali hak mereka atas lahan. Kemenangan-kemenangan kecil rakyat kemudian semakin memotivasi mereka untuk merebut kembali haknya yang dirampas.






[1] Dalam lex agraria tanah yang berlebihan harus diserahkan kepada Negara untuk dibagika kepada petani kecil.
[2]. Adapun kerugian ydari kedua pihak tersebut karena yang kaya kecewa karena hutan para hektemor tersebut di pasokan dan para hektemor kecewa karena tanahnya tidak kembali sebab tidak adanya retribusi walaupun statusnya di rehabilitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar